Friday, March 17, 2017

PERBANDINGAN PANDANGAN HUKUM ISLAM MENGENAI NIKAH SIRRI DENGAN HIDUP BERSAMA DALAM MASYARAKAT KUMPUL KEBO

PERBANDINGAN PANDANGAN HUKUM ISLAM MENGENAI NIKAH SIRRI DENGAN HIDUP BERSAMA DALAM MASYARAKAT KUMPUL KEBO



PERBANDINGAN PANDANGAN HUKUM ISLAM

MENGENAI NIKAH SIRRI DENGAN HIDUP BERSAMA

DALAM MASYARAKAT ( KUMPUL KEBO )

PENDAHULUAN


A.      Latar Belakang

Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Dasar-dasar perkawinan dibentuk oleh unsur-unsur alami dari kehidupan manusia itu sendiri yang meliputi kebutuhan dan fungsi biologis,melahirkan keturunan, kebutuhan akan kasih sayang dan persaudaraan, memelihara anak-anak tersebut menjadi anggota-anggota masyarakat yang sempurna.[1]Perkawinan itu sendiri mempunyai arti penting dalam kehidupan manusia,karena didalamnya ada unsur-unsur hak dan kewajiban masing-masing pihak, menyangkut masalah kehidupan kekeluargaan yang harus dipenuhi, baik hak dan kewajiban suami isteri maupun keberadaan status perkawinan, anak-anak, kekayaan, waris dan faktor kependudukan di dalam tatanan kehidupan bermasyarakat.

Bagi para pemeluk agama, perkawinan bersifat sakral yang mengandung ajaran-ajaran agama bagi para pemeluknya. Ritual perkawinan tidak hanya dipandang sebagai peristiwa sakral. Setelah selesai ritual sakral, timbullah ikatan perkawinan antara suami dan isteri. Ikatan perkawinan merupakan unsur pokok dalam pembentukan keluarga yang harmonis dan penuh rasa cinta kasih. Seorang pria dan wanita yang dulunya merupakan pribadi yang bebas tanpa ikatan hukum, namun setelah perkawinan menjadi terikat lahir dan batin sebagai suami isteri. Ikatan yang ada diantara mereka merupakan ikatan lahiriah, rohaniah, spiritual dan kemanusiaan. Ikatan perkawinan ini menimbulkan akibat hukum terhadap diri masing-masing suami isteri yang berupa hak dan kewajiban.

 Salah satu aspek hukum perkawinan yang penting untuk dicermati adalah sahnya perkawinan dengan masih banyaknya anggota masyarakat yang melakukan praktek “nikah sirri” pada hal suatu perkawinan yang sah akan menempatkan kedudukan pria dan wanita dalam aspek sosialnya pada posisi terhormat, sesuai dengan kedudukanya sebagai makhluk yang terhormat[2], dan dalam aspek hukum akan memperoleh perlindungan atas hak-hak dan kewajibanya.Sampai saat ini masih banyak anggota masyarakat yang melakukan perkawinan secara sirri,walau sebetulnya perkawinan secara siri ini sangat merugikan pihak si istri dan anak-anak yang dilahirkan.

Termasuk pada era sekarang ini banyak fenomena- fenomena yang muncul dalam kehidupan masyarakat yaitu penyimpangan kehidupan dibidang seksual, penyimpangan kesusilaan itu salah satunya adalah perbuatan kumpul kebo. Hidup bersama tanpa adanya ikatan perkawinan yang terjadi antara seorang pria dan wanita dimana mereka sama- sama belum menikah atau yang kita kenal dengan kumpul kebo kini mulai marak dikota – kota besar Indonesia, hal ini oleh masyarkat dianggap telah merusak kesusilaan masyarakat Indonesia. Selain dianggap merusak rasa kesusilaan, kumpul kebo juga dianggap membawa dampak negative dan terkadang menciptakan tindak pidana seperti aborsi, pembunuhan bayi yang lahir tidak diinginkan maupun pembuangan bayi sebagai akibat perbuatan kumpul kebo.

Kumpul kebo ini dalam tinjauan agama islam adalah perbuatan yang sangat dilarang dan sangat dilaknat oleh syariat islam karena dalam kumpul kebo ada perbuatan yang dilaknat oleh Allah SWT yaitu perbuatan zinah.[3]Zinah masuk dalam katagori seksualitas yang tidak beradap karena keluar dari konsep yang telah disepakati oleh islam. Dengan demikian zinah merupakan bentuk lain dari penyimpangan seksual.


B.  PERUMUSAN MASALAH

Mengingat begitu banyak fenomena yang ada di dalam kehidupan masyarakat Indonesia, termasuk perkawinan yang terdapat di dalamnya, maka makalah ini akan mengungkap bagaimana konsekwensi hukum dari nikah sirri dan kumpul kebo. Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, penulis mengidentifikasikan permasalahan sebagai berikut :


1.              Apakah Konsekuensi Hukum Dari Nikah Sirri Dan Kumpul Kebo?

2.              Apakah Urgensi Pencatatan Dalam Perkawinan?

BAB II

PEMBAHASAN


2.1 Definisi Nikah Siridan Kumpul Kebo

Nikah siri atau nikah dibawah tangan dalam pandangan agama Islam diperbolehkan sepanjang hal-hal yg menjadi rukun terpenuhi yaitu Rukun nikah. Namun perbedaannya adalah Anda tidak memiliki bukti otentik (secara hukum Indonesia )bila telah menikah atau dengan kata lain tidak mempunyai surat sah (buku nikah) sebagai seorang warga negara yg mempunyai kedudukan yg kuat di dalam hukum namun anda tidak memilikinya [4]. Namun perlu dipikirkan dengan sungguh-sungguh dan tak tergesa-gesa bila Anda memang ingin melakukan nikah siri. Tidak ada salahnya Anda berjuang dahulu semaksimal mungkin untuk memberikan pengertian kepada keluarga agar Anda dapat menikah secara formal, agar mendapat pengakuan secara sah di mata agama dan juga dibenarkan secara hukum di Indonesia.

Meskipun diperbolehkan oleh agama namun banyak kekurangan dan kelemahan menikah sirri antara lain bagi pihak wanita akan sulit bila suatu saat mempunyai persoalan dengan suami sehingga harus berpisah dan juga  anda tidak mempunyai bukti kuat secara hokum dan  tidak dapat menuntut di muka pengadilan akan kenyataan tersebut. Di samping itu bagi anak-anak pun  yang kelak nantinyamemerlukan kartu identitas (Akta Kelahiran) dan surat-surat keterangan lain akan mengalami kesulitan bila orang tuanyatak mempunyai surat-surat resminya. Tuntutan hak waris dan hak asuh anak tidak dapat dituntut di muka pengadilan. Dengan kenyataan kekurangan inilah sehingga menikah sirri itu dihindari.

Dari perspektif yuridis formal, nikah siri dilarang oleh Undang-Undang, baik UU No 1 tahun 1974 maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI). Maka, perkawinan yang dilakukan dengan tidak memenuhi kriteria kedua hukum positif itu, dianggap tidak sah. Atau sama juga dikatakan pernikahan tersebut dianggap tidak ada. [5]

Pelarangan ini, secara filosofis bertujuan untuk memberikan kebaikan kepada kedua belah pihak. Yakni, hak dan kewajiban sebagai suami istri (huquq al-zawjiyah) akan bisa dijamin di hadapan hukum. Baik hak tentang kepengasuhan, pemenuhan hajat-hajat ekonomi (nafaqah), kebutuhan biologis, kebebasan berkreasi, berkarya, atau hak-hak lain pasca ikatan perkawinan terjadi. Dan, seandainya terjadi pelanggaran hak dan kewajiban dari salah satu pihak, dapat diselesaikan sesuai dengan hukum yang berlaku.

Hukum Islam hasil dari idealisme para ahlinya, belum bisa dimaknai dan diamalkan oleh umat Islam sesuai dengan harapan para pengarangnya. Karena, dimensi historisitas manusia kadangkala lebih dominan dibanding dengan tujuan diterapkannya hukum Islam. Ini diakibatkan oleh berbagai faktor. Faktor sosial budaya Indonesia berpotensi terhadap adanya keberagaman (pluralisme), faktor sumberdaya manusia yang kurang memahami hukum positif Islam yang berlaku di Indonesia, atau mungkin faktor politik yang mengitari tumbuh dan berkembangnya hukum Islam.

Kesimpulannya, fenomena nikah siri di Indonesia dapat menemukan jalan keluarnya, dengan memberikan pemahaman yang benar tentang hukum positif Islam yang berlaku di Indonesia. Ini bisa dilakukan, dengan melakukan pemberdayaan umat Islam di Indonesia, terutama tentang makna hukum positif dan hukum Islam. Hal-hal tersebut dimaksudkan, agar pengamalan ajaran agama di Indonesia tidak dijadikan obyek kebijakan semata, tetapi juga merupakan tindakan yang bernilai pengabdian untuk umat, bangsa dan negara. Sehingga, pernikahan sebagai institusi perkawinan yang sakral, akan tetap terjaga dan terpelihara oleh umat Islam Indonesia. Dan pada akhirnya, terwujudlah generasi-generasi yang bermartabat sebagai hasil perkawinan yang bermartabat pula. Wa Allahu A’lam bi al-Shawab.

Pernikahan siri sering diartikan oleh masyarakat umum dengan[6] , Pertama; pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri) dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju; atau karena menganggap absah pernikahan tanpa wali; atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat;  Kedua, pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan sipil negara. Ada yang karena faktor biaya, alias tidak mampu membayar administrasi pencatatan; ada pula yang disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu; dan lain sebagainya.  Ketiga, pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu; misalnya karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu pernikahan siri; atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk merahasiakan pernikahannya.

Salah satu masalah sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat adalah “kumpul kebo” yang terkesan menjadi hal yang biasa dengan anggapan bahwa hal tersebut adalah bagian dari kehidupan modern. “Kumpul kebo” memiliki pengertian perbuatan tinggal bersama antara laki-laki dan perempuan tanpa diikat oleh suatu tali perkawinan yang sah. Sementara Kumpul kebo dalam arti hidup bersama dan melakukan hubungan seksual tanpa menikah, merupakan fenomena yang sangat biasa dan dimaklumi secara kultural di negara-negara barat.[7]

Norma-norma Indonesia tidak menyediakan ruang bagi pasangan “kumpul kebo”. Oleh karena itu berita seseorang yang menjalani kehidupan “kumpul kebo” akan menjadi gaduh sosial. Namun norma yang menabukan “kumpul kebo” dan sanksi sosial yang mengancampelakunya ternyata tidak cukup kuat untuk sekedar meminimalkan banyaknya pelaku “kumpul kebo”.


2.2 Nikah Sirri dan Kumpul Kebo Menurut Islam

  Hukum Islam dirumuskan oleh  Allah SWT. Secara umum tidak lain bertujuan untuk meraih kemaslahatan dan menghindarkan kemadaratan .

Nikah siri adalah perkawinan yang sah menurut agama, akan tetapi tidak dilangsungkan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) pada Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat dalam hal ini tidak ada dikhotomi tentang keabsahan suatu pernikahan antara Hukum Islam dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan maupun dengan  Kompilasi Hukum Islam sebagai Hukum positif yang berlaku di Indonesia., Suatu perkawinan/nikah siri apabila telah memenuhi rukun dan syarat perkawinan seperti diatur dalam syari’at Islam, walaupun tidak tercatat, secara syari nikahnya sudah dianggap sah. Hanya saja menjadi dianggap Tidak ada apabila tidak dicatatkankan sebagaimana dikehendaki oleh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 2 ayat 2 yang menyatakan bahwa tiap – tiap Perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.Available link for download